BUKAN AKU YANG MENGAJARI MEREKA
Oleh: Rima Nur Rahmawati
Namaku Mira,
seorang mahasiswi kedokteran di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.
Sore itu, dengan dress merah jambuku,
aku berjalan di lorong fakultas sembari membawa map merah berisikan biodata, lembar
formulir, dan foto berukuran 3x4. Kakiku seakan lemas, tak kuasa melanjutkan
perjalanan yang sebenarnya tak jauh juga. Entah, ada perasaan takut di dalam
hati ini. Perasaan cemas, ragu, dan segala hal yang berbau negative thinking.
Hari ini, aku
yang bukan siapa-siapa, disuruh melamar menjadi seorang mentor oleh seorang dokter
yang menjadi dosen pengampu kuliahku. Lidahku kelu saat ingin mengatakan, “saya tak sanggup dok, saya tak cukup
memiliki ilmu untuk menjadi mentor”, pita suaraku pun ikut mengencang saat
ingin berkata, “jangankan untuk berbagi
ilmu agama dengan menjadi mentor, saya saja malas-malasan ikutan mentoring.
Seandainya mentoring ini tidak bersifat wajib, mungkin saya tidak mengikutinya.”
Lalu, hei,
ketika semua kata-kata itu melayang dalam angan, tiba-tiba ada yang menepuk
pundakku dari belakang. “Jangan ragu,
masuklah ke dalam. Kalau memang kamu belum pantas menjadi salah satu mentor di
fakultas ini, ya kamu tidak akan lolos seleksi bukan? Yang daftar banyak,
jangan kepedean bakal lolos.” Sambil tertawa, salah satu dosen muda itu
meninggalkanku yang berdiri terpaku di balik pintu masuk. Kata-katanya sedikit,
sedikit menyakitkan hatiku kala itu.
Bismillah, aku mengetuk pintu itu
sembari berucap salam. Kata ustadzku dulu, tak afdhol jika masuk ruang tak
mengucap salam. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, aku hanya berdiri
di depan meja registrasi. Seolah ragu akan menyodorkan berkas-berkas dalam map
tersebut. “jadi submit tidak dek?”
pertanyaan ibu-ibu petugas itu sontak memecah diamku. Spontan, tanganku yang
kaku langsung menyodorkan berkas itu ke petugasnya. Sambil tersenyum, aku
berbalik badan dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Singkat
cerita, aku lolos seleksi administrasi dan lanjut dalam tes wawancara dan tes
lisan. Tak ada persiapan apapun untuk menyongsong tes kali ini. Sungguh hina
sekali bukan? Naluri dan akalku semalaman telah beradu, perang, pecah, tak
sanggup untuk berkata ya atau tidak. Ketika naluriku tahu bahwa kewajiban
setiap muslim adalah berdakwah, walau hanya satu ayat, dengan cara
bagaimanapun. Seketika itu akalku tak kuasa berkata bahwa aku hanya seonggok
debu yang tak lebih baik dari mereka, para pendaftar mentor lainnya.
Hari berganti
hari, pengumuman mentor yang lolos sudah dipampang di papan pengumuman. Bagai
petir di siang bolong, aku melihat namaku jelas di jajaran nama mentor lainnya.
“Apa iniii???” Naluri dan akalku
kembali bergejolak. Perasaan sebagai butiran debu tak bernilai semakin menjadi,
lebih parah bahkan. Bagaimana tidak, mereka yang duduk dalam nama mentor itu
minimal telah hafal 1,5 juz, lebih bahkan. Lalu bagaimana dengan aku? Ya, aku
tetaplah seonggok debu tak ternilai.
Senin, selasa,
rabu, pergantian hari membuat tekad ku untuk resign dari mentor semakin bulat, kokoh, dan tak tertandingi.
Walaupun sang naluri berkata, “jangaaannn
lakukan itu”. “Bukankah hidup adalah pilihan? Pilihlah apa
yang membuat hatimu senang.” begitu sang akal mengelaknya.
“Cobalah dulu, jangan mundur sebelum kamu
mencoba. Apakah mental dari sang juara dunia seperti ini? Penakut? Takut hanya
karena merasa tak pantas? Allah telah memilihmu, maka lakukanlah sebisamu.
Bukankah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim untuk berdakwah? Lakukan semaksimal
mungkin seperti saat kamu mengejar duniamu yang kamu suka. Saya yakin, banyak
kelebihan yang kamu miliki dan tidak dimiliki orang lain, termasuk para mentor
lainnya disini. Saya percaya, kamu bukanlah seonggok debu tak ternilai. Saya
percaya, kamu adalah mutiara yang sangat mahal. Mutiara yang masih dalam mulut
kerang, belum terlihat. Sekaranglah, waktunya kita, para pencari mutiara dalam
kerang itu beraksi mencari sang mutiara, seperti kamu. Jadi saya mohon, kamu
membantu saya dengan segenap keikhlasan.”
Kata-kata
dosen itu membuatku terdiam, tertegun cukup lama bahkan. Hingga kata-kata
itu masuk ke dalam liang telinga, menembus akal yang sebelumnya menolak. Dan
akhirnya kini, sang naluri lah yang menang.
*****
Sore ini, aku duduk bersama mereka, adik mentor yang sangat super rupanya. Mungkin ada
perasaan minder dalam hati. Tapi hei, ingatlah bahwa setiap orang punya
kelebihan masing-masing bukan? Dan aku yakin, aku masih punya satu sisi yang
dapat ku bagi kepada mereka, dan tentunya yang mereka belum punya dan ketahui.
Hari demi hari
aku merasakan perbedaan setelah berbagi ilmu bersama mereka. Bukan karena aku merasa seolah-olah menjadi seorang pengajar, bukan. Tapi aku sangat merasa
bersyukur karena telah terjebak dalam lingkup ini. Lingkungan yang baik ini,
yang insyaAllah di barokahi oleh Sang Pemilik kehidupan. aku banyak belajar
mengenai Islam dari mereka, banyak belajar mengenai arti kehidupan dari
mereka, walaupun mungkin mereka sendiri tak menyadarinya. Dan betapa senangnya hati ini
ketika bersama mereka, hati terasa tenang, damai, dan sejuk. Sangat indah, tak
pernah kurasakan sebelumnya. Bukan karena apa-apa, tapi karena kita memiliki
tujuan yang sama. Mentoring untuk belajar agar semakin dekat kepada Sang
Pencipta. Mungkin ini yang dinamakan tersesat dalam jalan yang benar :)
“Bukan
aku yang mengajari mereka, tapi justru dengan mengajar adik-adik itu, aku lah
yang dapat belajar akan banyak hal. Kehidupan sangat indah jika saling berbagi,
bukan?” :)
No comments:
Post a Comment