Sunday, February 28, 2016

Selamat Tinggal

Selamat Tinggal
Oleh: Rima Nur Rahmawati

Pagi yang seharusnya indah,
Pagi yang seharusnya disambut dengan senyum ceria.

Hmm, selamat pagi dunia. Have a nice day J , gerutuku pagi ini masih dengan nuansa mata yang sembab.

Jam masih menunjukkan pukul 3.00 dini hari, belum ada suara ayam yang berkokok satu ekorpun.
Aku berjalan menyisiri lorong rumah yang masih gelap gulita, sengaja tak ada lampu yang kunyalakan seperjalananku menuju belakang rumah.
Sambil duduk di anak tangga belakang rumah, ku sruput teh hangat yang tak begitu manis. 
Mungkin bisa dibilang sedikit hambar. Oh bukan, tak lagi sedikit hambar, tapi memang hambar dan pahit. Tak ada sebutir gulapun yang aku taburkan di gelasku. Aku hanya ingin merasakan yang seharusnya dirasakan, bukan dibuat-buat. Daun teh yang sejatinya pahit dan tak manis, tidak seharusnya dibuat manis dan dipaksa untuk menjadi manis.


Ah, apa sih aku ini, mungkin hanya terbawa ke baper-anku malam tadi.

Kutinggalkan segelas teh yang belum habis kuminum itu sendiri di anak tangga terakhir.
Ku ambil roti dan kuoleskan selai coklat diatasnya. Tapi tetap, masih tak terasa nikmat bagiku, walau tak sepahit seduhan teh yang kutinggalkan itu.

Hmmmmm, dengusku menggunakan napas yang dalam.

Jam menunjukkan pukul 05.30, dimana nyawa-nyawa penghuni rumah ini sudah menyala utuh. Dan kembali kudengar hal itu. Kejadian yang selalu membuatku mendenguskan napas dalam dan panjang. Berharap kala itu adalah kala terakhir aku menjadi saksi kejadian ini.
Tapi sayang, hal itu kembali terulang dan terulang.

Aku? Tentunya tak bisa berbuat apa-apa.
Tak berguna.
Bodoh.
Tak berdaya.
Dan bermuka dua.
Iya, bermuka dua.
Aku yang selalu terlihat baik-baik saja, aku yang selalu dibalut dengan canda tawa, aku yang dibungkus rapi dengan mulut yang senantiasa senyum.

tepat pukul 06.45 aku meninggalkan rumahku untuk menuju ke kota perantauan. Ku seka air mata yang jatuh dari pelipis mataku. Bukan karena aku sedih meninggalkan orang-orang yag kucinta disini, tapi lebih dari itu. Air mata ini sudah terbendung sejak beberapa hari silam.

Selamat tinggal kota mungilku. Selamat berjumpa lagi. Masih dengan harapan, agar ketika aku kembali kesini, tak lagi kutemui hal yang sama seperti kala aku di kota ini. Harapku selalu, dan tanpa henti.


Semoga Tuhan senantiasa mengabulkan doa sederhanaku. Doa sederhana yang selalu kulantunkan beriringan dengan kaki yang mulai melangkah jauh dari kota yang menjadi saksi bisu ini.

No comments:

Post a Comment